

Bermain yang Baik atau Diam
/ Inspirasi
Performa kemumpunian seseorang hanya dapat diasah tajam saat senyap.
Arif Giyanto
Chairman Jogja Daily
Pengaminan kolosal yang tampaknya semakin sulit ditampik kini bahwa sepakbola sungguh mewakili martabat bangsa, pun wajah dari perikehidupan sebuah negeri. Kemenangan di atas lapangan berhasil menyulut kebanggaan tak terkira atas identitas. Kekalahan pada pentas sepakbola terasa seperti rasa malu kolektif yang sulit ditepis.
Sepakbola tak ubahnya realitas kehidupan. Setiap kehidupan membutuhkan nyawa, harapan, kecerdasan, jiwa besar, dan kerja keras. Gol yang tercipta tak lahir begitu saja. Ia buah dari racikan taktik, optimalisasi potensi skuad, dan kepercayaan atas kerja tim. Ia ditakdirkan hadir untuk menakar kehormatan, kebahagiaan, dan ganjaran ketekunan sebuah tim bahkan sebuah bangsa.
Rasa bangga itu kemarin dipersembahkan Tim Nasional Indonesia. Tepat pada Kamis (5/6/2025), untuk ke sekian kalinya, para pahlawan tersebut berhasil menjaga mimpi dan tekad bermain di pentas Piala Dunia 2026. Timnas Indonesia menaklukkan China dengan gol semata wayang Ole Romeny dari titik penalti, setelah Ricky Kambuaya dijatuhkan di kotak terlarang.
Indonesia memang harus menapaki ronde keempat dan masih berjuang ekstra-keras agar lolos ke Piala Dunia 2026. Namun setidaknya, kans itu masih terbuka lebar. Asal tak jemawa dan tak kendur fokus, serta Allah menghendaki, sejarah akan mencatat keberhasilan Indonesia menembus Piala Dunia untuk kali pertama.
Pertandingan melawan China bukanlah pertandingan formalitas. Penentuan hidup-mati ada di sana. Usai kalah dari Indonesia, China dipastikan gagal berangkat ke ajang Piala Dunia 2026. Sedari awal, Coach Patrick Kluivert tak seucap pun meremehkan kekuatan Negeri Tirai Bambu. Terlebih, Indonesia belum pernah menang atas China hingga 38 tahun lamanya.
Pertaruhan yang membutuhkan upaya tak main-main berikut keberserahan diri kepada-Nya itu ternyata berbuah apik, yakni monumen kemenangan. Dengan kepala tegak, Indonesia memantaskan diri sebagai tim yang tak hanya jadi pelengkap grup kualifikasi. Perjalanan dari ronde pertama hingga melenggang ke ronde keempat bak misteri yang tabir demi tabirnya perlahan tersingkap.
Keputusan Genius Nan Berani
Dalam tekanan yang luar biasa, tim kepelatihan Timnas Indonesia berkeputusan genius nan berani. Genius lantaran dapat mengoptimalkan lini-lini yang tak diperkirakan dengan baik oleh musuh. Berani karena memercayakan kronik mendebarkan kemarin kepada para pemain Liga 1 didikan dalam negeri yang seringnya dianggap sebagai substitusi pemain Timnas asal kompetisi luar negeri.
Rizky Ridho, Ricky Kambuaya, Egy Maulana Vikri, dan Yakob Sayuri didapuk sebagai starter. Setelah pertandingan berlangsung, turut menyusul dua pemain, yakni Beckham Putra dan Ramadhan Sananta. Praktiknya, peran Ricky berhasil mengecoh lawan, sebab konsentrasi mereka yang tekun mematikan pergerakan lini tengah Timnas Indonesia atas nama Thom Haye dan Joey Pelupessy. Taktik genius yang mengejutkan.
Ridho yang hampir tak tergantikan dalam komposisi benteng pertahanan Timnas Indonesia bersama Jay Idzes dan Justin Hubner, kini diperkuat tarian mematikan ala Ricky, Yakob, dan Beckham di tengah, serta bermuara pada tusukan terukur penuh visi khas Egy dan Sananta. Semua itu bersusun kolaborasi epik Emil Audero di bawah mistar, Calvin Verdonk dan Kevin Diks di sayap, serta eksekusi dingin Ole, formasi Timnas Indonesia sungguh tak dapat ditebak lawan.
Tampaknya, Kluivert dkk mulai dapat mengkontekstualisasi sepakbola Eropa yang biasa mereka lakoni dalam khazanah Nusantara yang lebih eklektik. Ridho yang tenang, sabar, dan tut wuri handayani begitu lekat budaya Jawa. Ricky dan Yakob yang berfisik tangguh penuh kecepatan memperlihatkan gerak hidup budaya Papua. Egy dan Sananta punya tekad baja perantau berbalut semangat juang tinggi khas Sumatera. Beckham yang ekspresif dan renyah merepresentasi budaya Sunda.
Betapa Timnas Indonesia tampak layaknya etalase kebhinnekaan Nusantara. Kebhinnekaan yang bermuasal dalam negeri, juga kebhinnekaan diaspora yang beradaptasi global tapi tak tercerabut akarnya. Mengemuka kuat pranata kebangsaan yang belum tentu dimiliki bangsa-bangsa lain di dunia. Sebuah bangsa yang satu dengan keberagamannya. Sebuah bangsa yang bangga pada jati dirinya. Sebuah bangsa yang terbuka dan penuh dedikasi.
Mental Maslahat
Sewaktu kawan-kawan sesama Timnas yang berkarier di luar negeri mulai berdatangan, dengan tanpa ragu, Ridho berujar, ia beruntung mendapatkan kesempatan belajar dari pemain-pemain hebat. Bila belum diberi kesempatan bermain, ia berlatih sekeras-kerasnya. Bila masuk starter, Ridho taat kepada sang pelatih, siapa pun yang sedang bertugas.
Lusinan pertandingan sebelumnya, Ricky terus menerus menjadi penghangat bangku cadangan. Mahasiswa Magister Ilmu Manajemen Universitas Pendidikan Muhammadiyah (UNIMUDA) Sorong itu tak surut langkah. Ia tak padam semangat. Dalam beberapa pernyataannya, ia berkali-kali bertutur bahwa panggilan Timnas saja sudah membuatnya bangga. Bila belum diberi kesempatan, ia tetap berlatih sepenuh hati dan bersiap selalu. Ia juga menandaskan, semua ini kerja tim. Kalau tim menang, ia bahagia. Pun sebaliknya.
Sementara Egy, Yakob, dan Sananta tak jemu keluar-masuk Timnas. Terkadang bermain, sering kali tidak. Atau jika pun hanya bermain beberapa menit, mereka habis-habisan. Beckham baru kali kemarin menjalani debutnya bersama Timnas. Ketika pemanggilan, bertubi cemoohan datang, lantaran menganggapnya kurang layak. Jutaan mata pada akhirnya mengakui kelihaiannya di ajang internasional.
Kisah mereka bukan pemanis semata. Tebersit mentalitas potensial hingga lantas kentara. Performa kemumpunian seseorang hanya dapat diasah tajam saat senyap. Bahwa sebagai anak bangsa, siapa pun harus berjuang sampai titik akhir kemampuannya. Sosok-sosok yang tak terbuai saat berada di puncak dan tak goyah ketika diterpa tekanan hidup. Sebuah mentalitas yang bermuara pada kemaslahatan bersama sebagai bangsa.
Mental maslahat seperti ini sangat mungkin membawa Indonesia benar-benar hadir berkompetisi dalam ajang paling bergengsi sejagat, Piala Dunia. Lebih dari itu, mental maslahat sungguh dibutuhkan kini untuk mengentaskan negeri ini dari karut-marut persoalan kebangsaan, mulai dari kemiskinan hingga kebodohan. Mental maslahat yang benar-benar merepresentasi kita sebagai bangsa yang besar dan berguna bagi sesama.
Jadi, mari terus berbuat kebaikan, bermula dari pikir dan ucapan, layaknya bermain sepakbola. “Bermain yang baik, atau diam.”
Editor: Rahma Frida